Skip to main content

Adult Story: Curhatan Seminar Proposal

Gambar oleh <a href="https://pixabay.com/id/users/publicdomainpictures-14/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=18915">PublicDomainPictures</a> dari <a href="https://pixabay.com/id/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=18915">Pixabay</a>



orang yang membahas tentang Sex adalah orang mesum.

Beberapa orang hidup di lingkungan yang berpegang teguh pada kalimat tersebut. Sex berarti mesum, merusak moral,  hal yang tidak sopan untuk dibahas dan saya hidup di lingkungan yang seperti itu. 

Dahulu, saya paling takut dan nggak nyaman jika membahas tentang sex. Jika ada pelajaran tentang alat reproduksi, semua orang akan terpana mendengarkannya bahkan dia yang biasanya cuma tidur di kelas juga akan ikut mendengarkan dengan seksama dan sebelum pelajaran dimulai, pikiran mereka pasti sudah ke hal yang mesum dan cabul, lalu yang cewek akan malu setengah mati jika guru membahas organ sex wanita, padahal itu hal yang wajar untuk kita ketahui. Lalu, kenapa hal itu terjadi? Karena lingkungan mengharamkan pembahasan tentang itu dan ketika di sekolah (biasanya pas pelajaran biologi) membahasnya, maka semua rasa penasaran selama ini seakan terjawab namun, diiringi dengan fikiran negatif tentang sex adalah mesum.

Orang-orang telah mencampurkan makna sex dengan sesuatu yang erotis atau bahkan pornography. Alat kelamin dengan hubungan kelamin padahal keduanya berbeda dan kesalahpahaman itulah yang telah ditanamkan sejak kecil. Kesalahpahaman itulah yang terus berlanjut bahkan sampai ke keperguruan tinggi. 

Suatu ketika saya sedang belajar tentang teknik penelitian sastra (kalau ga salah), dosen saya curhat tentang pemilihan masalah dalam skripsi, kemudian beliau mencontohkan sebuah judul, 'Erotisme dalam novel xxxxx' dan langsung memasang ekspresi jijik bercampur geli, "hiii permasalahan yang tidak penting dan menggelikan, seperti tidak ada pembahasan yang lain saja", ucapnya. Semuanya pun tertawa, bukan karena ucapan beliau sih tapi karena ekspresinya.

Lalu saya berpikir, apa yang salah dari 'erotisme'? Mengapa dianggap tidak penting dan kenapa harus berekspresi geli ketika membaca kata itu? Mungkin balik lagi pada kalimat awal. Sex sama dengan mesum dan erotis adalah hal yang terlahir dari sex, maka erotis sama dengan mesum. Kalau di rumuskan ke matematika mungkin jadinya, a + b = ab.

Berhubung saya jurusan kependidikan, maka rata-rata dosen saya akan terus mengaitkan segala hal dengan pendidikan sehingga pembahasan tentang erotisme akan dikaitkan pula dalam pendidikan dan berhubung tidak ada sex education di kurikulum kita ataupun tidak mungkin siswa diberi contoh novel yang berisi kata-kata erotis, makanya hal itu dianggap tidak penting, padahal setelah saya baca skripsi tentang hal itu, tidak terdapat hal-hal mesum yang dimaksudkan, padahal hanya membahas pemakaian kata erotis dalam novel dan hal itu wajar-wajar saja dalam sastra soalnya erotisme yang dibahas bukan dari cerita dewasa yang digunakan cuma buat fap2 di kamar (ya ampuuuun 'fap fap'? :v keseringan baca meme kayaknya) tetapi dalam sebuah karya sastra.

Tapi ya sudahlah, saya tidak akan membahas erotisme dalam sastra karena saya sendiri tidak terlalu mendalaminya.

Berdasarkan hal tersebut, tidak ada satu pun orang di jurusan saya (lebih tepatnya di angkatan saya) yang berani mengambil pembahas tentang sex. Hal ini membuat jiwa anti-mainstream dalam diri saya menjerit-jerit, 'keluarkan kamiiiii keluarkan kamiiii' #halah!

Saya harus membahas sesuatu yang berbeda, kata-kata dari dosen sastra saya juga terngiang-ngiang, beliau bilang, "kalau mau penelitian, bahaslah sesuatu yang berbeda, jangan itu-itu terus!".

ya ya ya saya harus berbeda dari yang lain, saya pun kepikiran tentang YAOI (cerita tentang gay). Beberapa teman saya yang sesama fujo juga pernah membahas perhumuan di skripsi mereka tapi mereka jurusan sastra Jepang sih. Tapi emangnya di Jepang aja yang banyak karya humu-humuan? Di Indonesia juga ada kelles #halah

Saya coba cari-cari tentang novel gay dan beberapa novel sudah banyak dibahas oleh beberapa orang dari luar kota dan tampaknya pembahasan tentang gay dalam sastra Indonesia bukan hal yang baru, jadi saya semakin yakin. Namun, sehari sebelum mengajukan judul, saya mengurungkan niat untuk terlihat mencolok dengan judul tersebut dan berakhir dengan judul yang mainstream walaupun salah satunya adalah tentang novel humu.

Saat konsultasi judul dengan dosbing, beliau malah terfokus pada satu judul, 'gaya bahasa dalam novel Cinta Terlarang Cinta Terindah karya L. Benako Aksara', saya diminta menjelaskan ringkasan ceritanya, lalu terungkaplah bahwa novel itu bercerita tentang gay. Di akhir konsul, saya diminta mencari teori tentang sexsualitas dalam sastra dari segi psikologi sastra. OH EM JIH!!!!!!

Saya nggak tahu apakah harus senang atau takut. Ini otomatis bakal ganti judul ke judul yang awal-awal saya pikirkan, tentang *close up ke bibir* S E X!
tapi nggak apalah ya, kan dosbing yang nyuruh xixixixiixixi

Singkat cerita, akhirnya saya mengambil judul, penyimpangan seksual dalam novel tersebut namun dilihat dari segi psikologi sastra #hasik awal baca judul itu, dosbing kedua saya sempat terbelalak namun diam aja sih, yang artinya setuju-setuju aja gituh.

Ketika seminar proposal, saya jadi objek paling diincar saat itu. Pesertanya juga fokus bertanya dan mendengar  pembahasan tentang proposal saya, padahal hari itu nggak cuma saya yang seminar, ada empat orang lagi, tapi malah fokusnya ke saya. Bikin keringat dingin broh, mengingatnya kayak sekarang aja bikin perut saya mules.

Saya sih bisa menjawab dan menjelaskan dengan lumayan lancar ketika peserta bertanya, tapi ketika dosen yang mulai mengajukan pertanyaan, perut saya makin mules dan yang paling lucu, dosen yang seharusnya membahas proposal yang lain malah membahas proposal saya. Habis sudah!

Ada satu dosen wanita yang bertanya, "bagaimana perasaan anda ketika membahas tentang penyimpangan seksual, apa reaksi keluarga atau rekan anda ketika ada yang bertanya tentang judul skripsi anda yang notabene-nya termasuk tabu untuk diperbincangkan?" *irama ala inpotaimen*

ENG ING EEEENG.... tuh kan, bahas tentang sex itu tabu! Ga boleh dibahas, privasi ngetz, bukan untuk dibahas di depan umum. Padahal saya nggak bahas tentang hubungan seksual di mana cowok 'ena ena' sama cowok lain, tapi membahas kejiwaan di tokoh dalam karya sastra. Weleh weleh....

Lalu di penghujung seminar, ada lagi dosen laki-laki (yang lagi-lagi bukan pembahas proposal saya) yang bertanya dengan wajah serius + meremehkan(?).
"Apa tujuan anda mengambil pembahasan ini?"

Saya udah banjir keringat tuh, tenaga untuk ngomong udah terkuras habis tapi masih juga di tanya. Udah saya jelaskan tapi dosennya nggak paham juga. Trus terjadilah sesi tanya jawab yang panjang.
Saya masih ingat satu olokkan yang dilancarkan dosen tersebut kepada saya saat membahas manfaat penelitian saya, kalau nggak salah sih gini, "mungkin setelah ini anda akan menjadi sexsolog  (orang yang ahli dibidang sex), iya kan?! Soalnya pembahasannya tentang sex ", kemudian di-iyakan oleh peserta yang lain dan mereka tertawa.

Saat itu rasanya saya pengen bilang, "KOK SEXSOLOG SIH PAK? KENAPA NGGAK PSIKOLOG AJA? LEBIH MASUK AKAL SOALNYA, KAN INI BAHAS DARI SEGI KEJIWAAN DAN TINGKAH LAKU BUKAN DARI ALAT KELAMINNYA. LAGIAN APA YANG MAU DITELITI DARI ALAT KELAMINNYA? KAN UDAH JELAS INI NOVEL BAHAS TENTANG GAY, JADI ALAT KELAMINNYA YA TITIT SAMA TITIT. UDAH! #PLAK

saat itu saya emosi karena malu dan diremehkan tapi saya tahan aja terus. Sampai seorang dosen muda (dosen baru) ikut nimbrung, dan bilang gini, "di lingkungan anda ada yang homo?"

"Tidak pak, tapi kalau di medsos, saya tahu beberapa orang yang homo."

"Sebaiknya anda cari seorang homo lalu melakukan wawancara agar penelitiannya lebih falid."

"Tapi... saya nggak bahas tentang orang homo pak, lebih ke tokoh sastra." Dalam hati sih bilang gini, 'dan tokoh sastranya ga bisa diwawancara pak #cry'

Hal tersebut juga dibenarkan oleh dosen yang lain dan terjadilah sesi curhat kilas balik tentang salah satu mahasiswa yang melakukan penelitian sampai-sampai dia harus menyamar dan berteman dengan para homo. Akhirnya saya cuma mendengarkan dengan tangan udah mendingin kayak es saking groginya.
Karena pembicaraan udah kemana-mana kayak ngombrol di warung kopi, akhirnya dosbing kedua saya (dosbing 1 nggak datang)  menyudahi semuanya dengan menjelaskan bahwa penelitian saya hanya terfokus pada satu novel dan bukan ke lingkungan nyata. Semuanya pun di sudahi namun dosen laki-laki yang mengolok saya sebelumnya bertanya lagi, "tapi anda tidak menyimpang, kan?!"

THAT'S!

 hal yang mungkin dari awal ingin beliau katakan sebenarnya, mentang-mentang membahas tentang penyimpangan seksual, bukan berarti saya adalah pelaku penyimpangan seksual dan mentang-mentang ada kata 'seksual' bukan berarti saya ini bakal jadi sexsolog. Menurut saya, pemikiran tersebut terlalu sempit.
Btw saya ini normal plis. Masih demen kok sama laki, saya nggak pernah terangsang liat cewek berbodi seksi kok. 

Tapi sudahlah, kesalahpahaman itu percuma dijelaskan. Hayati lelah menjelaskan terus-menerus.
Btw balik lagi ke curhatan saya pas seminar. Pertanyaan terakhir itu menjadi akhir seminar saya dan tentu saja dapat dilanjutkan ke penelitian selanjutnya. Alhamdulillah deh. Tapi seriously, kejadian pas seminar itu nggak bisa saya lupakan sampai sekarang.

Kenapa hal itu terjadi? Padahal pembahasan tentang penyimpangan seksual dalam novel sudah banyak dilakukan, dan juga di jurusan saya dapat memilih tiga tipe penelitian, pendidikan, bahasa, atau sastra. Jadi, rasanya nggak aneh jika saya membahas sastra seperti itu.

Seperti yang saya bahas di awal tulisan ini, saya hidup di lingkungan yang mengharamkam 'sex' dan sejenisnya untuk dibicarakan secara umum. Nggak aneh juga sih kalau sex education nggak pernah ada, padahal dari banyak sumber yang saya baca, sex education itu penting. Lagipula nggak bakal bahas hal-hal porno dan belajar kata-kata kotor, tapi yah mau bagaimana lagi, katanya sih 'tabu' untuk diperbincangkan.

Inti dari curhatan ini?
Entahlah, mungkin...
1. sebaiknya kita berhenti untuk berpikiran negatif dan porno, biar tiap denger kata 'sex' otaknya nggak langsung ke hal yang ena ena aja. Pfffft
2. Kalau mau skripsian dan membahas hal yang 'tabu', maka harus siap mental dan buktikan kalau apa yang kamu bahas, nggak seremeh yang orang pikirkan.
3. Olokkan yang saya terima saat seminar telah menjadi motivasi bagi saya untuk benar-benar memahami penelitian yang saya lakukan sehingga saya dapat menjelaskan dengan baik dan memperlihatkan betapa seriusnya saya dengan pembahasan yang saya ambil. Bukan sekedar pengen bahas hal mesum apalagi mesum-mesuman yang menyimpang. Semua tekad itu berakhir dengan lancar  saat saya sidang skripsi. Udah paham bahan sih, jadi mau ditanya apa aja saya bisa jawab dengan pasti. Insya Allah.
4. Ketika seseorang suka cerita homo, bukan berarti dia juga homo. Mungkin sama kayak ketika kita suka film trhiller psikopat, bukan berarti sebenarnya kita juga psikopat. #apadeh


Comments

Popular posts from this blog

Fakta 'Ciel Phantomhive' Black butler

Beberapa waktu yang lalu saya dibuat tertarik oleh sebuah status di akun fesbuk yang menyatakan bahwa, “ Ciel Phantomhive sejak awal telah meninggal dunia dan yang mengikat kontrak dengan Sebastian Michaelis bukanlah Ciel melainkan saudara kembar Ciel ” Hal tersebut sontak membuat saya  shock dan benar-benar tak mempercayainya, bagaimana mungkin? Tahu darimana? Rasanya tidak ada pengungkapan hal tersebut di komiknya ataupun anime, tapi setelah dijelaskan sumbernya, saya baru menyadarinya. MEMANG tidak dijelaskan secara gamblang, tapi dijelaskan dengan cara yang sangat lihai oleh Yana Toboso-sensei. YA! DIJELASKAN SECARA TIDAK LANGSUNG dan kalau TIDAK TELITI dan KRITIS ketika membacanya pasti akan terkecoh dan mengabaikannya. Saya termasuk orang yang mengabaikannya, soalnya saya terbiasa membaca komik sederhana yang tidak terlalu memiliki banyak misteri, saya tak menyangka kalau Kuroshitsuji/Black Butler memiliki 'misteri dalam misteri' seperti ini hingga saya menjadi

Nobar One Piece

Jadi, ceritanya Padang lagi dapat tempat hiburan baru sejenis bioskop. Dan kehadian bioskop yang satu ini bikin  wibu  Sumbar bersorak gembira karena akhirnya kami bisa nonton movie  Anime  di bioskop. Ga perlu lagi gigit jari liatin orang-orang dari kota lain pamerin tiket nonton. Hal yang juga membahagiakan adalah ketika movie One Piece terbaru masih ditayangkan. Sehingga, komunitas One Piece di Padang ditawarkan untuk mengadakan   nobar .  Salah satunya adalah Kopi-RP (komunitas one piece Indonesia- regional padang). Tetapi karena anggota aktif kami tidak cukup untuk memenuhkan satu studio, akhirnya nobar tersebut dibuka untuk umum. Awalnya agak pesimis bakal bisa ngumpulin 101 orang untuk diajak nonton, ternyata hanya dalam 2 hari, tiketnya habis. Ternyata banyak peminatnya, bahkan ada OpLovers yang datang dari Bukittinggi dan Payakumbuh. Ga sia-sia sih selama ini menutup mata dan telinga dari segala spoiler yang meraja lela. Akhirnya bisa nonton langsung d

Balada Anak Tunggal: Lagu Baperan

“Eh, kamu anak tunggal? Waaaaah….. nggak nyangka, enak banget tuh!” “Cieee anak tunggal, pasti dimanja!” “Anak tunggal? Enaknyaaaaaaaa” Rata-rata saat saya bilang kalau saya anak tunggal, tanggapannya pasti gitu. Iya sih, enak banget jadi anak tunggal, semua perhatian dan kasih sayang orangtua cuma buat kita seorang. Minta apapun dibeliin, dan yang pasti nggak ada yang namanya barang kita dirusak atau dipinjem adik/kakak. Tapi mereka nggak tahu aja sih, kalau tiap mereka cerita tentang kakak cowok yang bikin mereka kesal sekaligus merasa terlindungi atau tentang adik masing-masing, saya adalah pihak yang hanya mendengarkan dan merespon seadanya tanpa bisa bilang, “I know that feel cz my brother blab la bla…” dan ikutan cerita kayak mereka juga. Hal itu nggak bakal pernah terjadi. Tapi lupakan masalah itu, sebab untuk kali ini saya mau bilang bahwa beberapa minggu ini lagi kepincut sama sebuah lagu, lagu minang tepatnya. Judulnya ‘nasib diri’ yang dipopulerkan oleh P