Saya pikir, berdamai dengan takdir dan mencoba mengikhlaskan banyak hal yang terjadi di masa lalu adalah titik awal menuju suatu yang baru. Namun nyatanya, minggu yang baru saja terlewati tetap saja sama dengan minggu-minggu sebelumnya, bahkan menjadi minggu yang penuh dengan kehilangan.
Hari minggu, satu kittenku mati. Namanya Bulbul, berusia hampir 3 bulan dia periang, hyperaktif, dan yang paling sering mendatangiku untuk sekedar memeriksa apa yang kulakukan atau meminta untuk diajak bermain. Entah apa sakitnya. Hari itu ia hanya tidur dan tidak mau makan. Dan esoknya, dia mati.
Hari senin, ayah kehilangan satu keponakannya. Katanya karena penyakit demam berdarah. Padahal dia baru saja lulus SMA. Terbayang betapa pedih ketika ijazah yang masih belum diterima, nantinya akan diserahkan kepada orangtua tanpa sang anak di sampingnya.
Hari Selasa, satu kitten saya yang tersisa menjadi canggung sendiri karena kesepian. Ia jadi tidak memiliki teman. Saya berusaha meluangkan sedikit waktu untuk menemaninya bermain, berharap ia tidak merasakan kehilangan itu. Namun pada kenyataannya, kami sama-sama telah jatuh ke dalam rasa yang bernama kehilangan.
Hari Rabu, kucing jantanku bernama Coco (7 bulan), tidak mau makan dan suka menyendiri. Sebagai orang yang sudah sangat lama menjadikan kucing sebagai bagian dari hidup, sangat tahu pertanda apa hari itu. Ketika kucingmu mulai suka menyendiri, maka kemungkinan terbesar ia sedang sakit dan tidak akan hidup lebih lama. Aku usahakan banyak cara agar ia mau makan. Aku belikan dia susu bebas laktosa yang dua hari lalu masih menjadi minuman yang paling ia sukai. Namun, semua nihil.
Coco sering muntah-muntah walau terkadang tidak ada cairan apapun yang ia muntahkan. Kupikir ia keracunan, makanya kuminumkan susu. Berharap dapat menjadi pertolongan pertama. Bersamaan dengan itu, kitten keduaku Lolo, saudara sekandungannya Bulbul juga tampak sakit. Ia hanya tidur, tidak makan, tidak pula menyusu.
Hari kamis malam, Lolo mati. Seperti halnya kucing lain sebelum mati, ia memilih untuk menyendiri. Pagi hari kulihat ia masih berjemur di mentari pagi, namun siangnya, dia kutemukan telah sekarat di samping rumah dengan badan yang setengah kaku. Ketika kuangkat ke dalam rumah, ia sempat mengangkat kepalanya dan berkedip. Hanya sekali lalu terkulai lagi. Hingga malamnya aku melihatnya merenggang nyawa. Hal paling menyakitkan untuk kamu lihat.
Hari Jum’at pagi, Coco ditemukan mati di belakang rumah. Padahal dia adalah kucing yang lembut. Satu kenangan yang membuat pagi menjadi kental akan rasa kehilangan adalah, kebiasaan dia yang selalu meminta makan ketika kami baru bangun pagi. Biasanya dengan suara kecil khasnya, ia akan mengeong dan terus mengikuti. Terkadang menghambat langkah hingga ia diberi makan. Namun, kini pagi hari terasa begitu sunyi.
Hari sabtu dini hari, aku pun mengalami kehilangan lagi. Mungkin belum pantas disebut kehilangan, sebab lebih seperti dilepaskan untuk menghilang. Aku tidak pernah berpikir jika mimpiku di postingan sebelumnya, akan saling berkaitan satu-sama lain. Jika satu mimpi tidak aku dapatkan, maka mimpi yang lainpun harus aku lepaskan.
Kini, satu kebiasaan yang selama lima tahun ini aku lalui, harus perlahan menghilang—ah bukan menghilang, tetapi berubah. Kata yang dulu dibiasakan untuk menjadi penutup hari kini menjadi kata yang begitu berharga untuk sekedar diterima. Pegangannya telah dilogarkan karena dirinya yang tidak lagi punya kepercayaan diri untuk menggenggam. Membiarkan aku memutuskan sendiri, mau terus terikat atau lepaskan.
Sabtu malam, semua kehilangan itu meninggalkan kehampaan. Dan aku harus terus hidup dan melangkah, agar mimpi yang sempat aku bangun kembali, tidak ikut menjadi kehilangan di penutup minggu.
Comments
Post a Comment