Seperti dia dengan prinsipnya, 'makin berbagi, makin terlihat pintarnya.'
Dia bukan sembarang orang. Dia berpendidikan tinggi, punya nama di masyarakat. Tapi sayangnya, dia tinggal di negara yang begitu bodoh, kotor, dan tengah diambang kehancuran, katanya.
Matahari tengah memancar pongah di bulan Juni. Dia berjalan dengan kening mengerut, mengelilingi kota kelahirannya. Lalu kakinya terhenti di depan kubangan kerbau. "Ukh, kotor! Zaman canggih seperti ini, masih saja ada yang pelihara kerbau. Bodoh. Ketinggalan jaman!"
Lantas ia pulang, menuang segelas susu dan sekaleng daging sapi berkualitas internasional. Kemaren ia pesan online dari negara maju. Dia memang membuat kami iri.
Besoknya ia berjalan-jalan di taman bunga mawar. Dia suka mawar. Namun ada anak kecil yang asik menanam melati dan tulip di sudut taman. Tentu hal itu membuatnya resah. Keningnya sekali lagi berkerut--yang lama-lama menjadi kerutan permanen .
"Kenapa kamu tanam itu? Tidak lihat kalau di sini lebih banyak mawar?!" ocehnya di depan si anak.
"Ibu saya suka melati, tetangga saya suka tulip. Saya sayang mereka. Saya mau tanam ini lalu perlihatkan pada mereka!" si anak menjawab polos.
"Tapi jadinya buruk. Minoritas itu tidak bagus. Merusak tatanan. Harusnya kamu tanam mawar. Lebih bagus, wangi, dan indah!"
"Tapi saya tidak suka mawar..." si anak menunduk sendu menatap kebum kecilnya.
"Ada apa ini?" seorang pria botak datang tergopoh-gopoh. Ia ingin tahu. Kamera handphone sudah menyala mengikuti langkahnya.
"Ini. Dia tanam itu," tunjuknya pada melati dan tulip, "sungguh buruk. Tidak enak dilihat. Tidak bagus."
"Waduh, iya. Anda benar. Duh, cepat gali lagi dan bawa ke halaman rumahmu saja, nak!" si pria botak menyuruh dengan ekspresi pongah. Dia suka mawar. Dia adalah mayoritas. Dia yang berkuasa.
Dengan sedih si anak mencabuti bunganya dan lari pulang.
Esoknya adalah hari berbagi. Dia datang ke rumah si anak kecil penanam melati dan tulip. Ia disambut layaknya tamu istimewa. Lalu dimulailah bagi-baginya.
Tentu si anak dan keluarganya bahagia. Mereka dapat pembagian. Tapi usai acara kecil-kecilan penuh berkah itu, mereka terdiam. Katanya, mereka akan dapat berkah kalau menanam mawar di halaman rumah ketimbang melati dan tulip. Dan bencana akan datang pada mereka yang melanggar.
Kalau begini, mereka jadi mendapat pencerahan.
Si dia yang berderajat tinggi hingga langit-langit rumah dua tingkat itu berdiri. Memberikan buku kosong dan meminta keluarga sang anak menulis apa yang ia katakan. Agar kelak dapat menjadi pedoman.
Hidungnya kembang-kempis tatkala berhasil mencerdaskan orang yang katanya bodoh. Tentu ia pulang dengan langkah bahagia. Bahkan serasa melayang saking tersanjungnya.
Beberapa bulan kemudian, ia bertemu Delima. Gadis hitam-manis yang suka seenaknya. Hal ini membuat si kening yang berkerut keriput jadi makin banyak kerutnya.
Ia lihat Delima memelihara kerbau dan sapi. Lalu ayam. Ia juga memergoki setangkai kamboja di tengah kebun mawar. Sepetak bunga kertas di sudut yang lain dan serumpun melati di kejauhan.
Tentu ia tegur Delima. Tapi gadis itu hanya tersenyum dan berkata, "mawar itu, saya yang tanam. Bunga yang lain juga. Saya suka keberagaman. Jadinya indah."
"Oh tidak. Ini taman kota. Bukan tamanmu!" tantangnya. Dia itu pintar. Apa yang dikatakannya adalah kebenaran, "beragam dan tidak jelas. Hanya merusak. Saya tidak suka. Orang-orang juga tidak suka!"
Kemudian ia kumpulkan pengikut setia dengan himbauan penuh kepintaran. "Yang setuju dengan saya tentulah orang-orang pintar juga!"
Sebagai orang yang berpengaruh dan pintar, tentu ia akan menang. Dan benar, dia berhasil membabat habis bunga pengganggu, lalu mawar mulai bersemi menunggu musim kemarau.
Mawar semakin banyak, tapi tak ada yang merasa bertanggung jawab untuk merawatnya. Hingga alam yang begitu penyayang mengulurkan tangan dan merawatnya. Membuatnya tumbuh tinggi dan berbunga harum semerbak baunya.
Tetapi, saking banyaknya mawar di tanam, mereka bertumbuh di sepanjang jalanan kota. Lalu dia yang pintarnya dengan derajat setinggi langit-langit rumah dua lantai tak sengaja tersenggol batang mawar kesukaannya.
Tangannya berdarah dan ia takut. "Ini berbahaya. Potong semuanya. Mawar ini berbahaya!"
Orang-orang pintar berkumpul dan merembah semuanya, hingga tanah yang subur kini menjadi tandus.
Comments
Post a Comment