The Anthem of the Heart -Beautiful Word
Dahulu kala,
hiduplah seorang gadis yang merasa bahwa, begitu melelahkan berhubungan dengan
sesama manusia dan orang sepertinya tidaklah cocok akan hal itu. Gadis itu
hanya cocok tenggelam bersama dirinya sendiri. Marah, kecewa, senang, dan
bersedih dengan dirinya sendiri.
Hal
yang paling ia takuti adalah menyakiti orang lain. Menyakiti orang lain yang
terkadang tak ia sadari. Jauh lebih menyakitkan daripada menyakiti
dirinya sendiri.
Sungguh!
Dulu gadis itu adalah orang yang hanya berani sendirian. Mencintai sendiri, tersakiti sendiri, marah sendiri, cemburu sendiri dan, patah hati pun sendiri, lalu mengobati segala luka itu sendiri. Tak penting bagaimana bekasnya nanti.
Gadis
itu berpikir kalau dia akan selalu seperti itu, hidup dalam kesendiriannya.
Tapi tetap saja dia adalah manusia, makhluk sosial yang tak bisa hidup sendiri.
Dia juga mau berbagi segala rasa, juga ingin tahu bagaimana rasanya bersama dengan manusia yang lain. Perlahan ia mulai terbuka, mulai menerima dan gadis itu
bahagia.
Kini,
gadis itu dipenuhi berbagai macam warna dan bekas luka selama ini pun kian pudar. Namun ia tak menyadari bahwa bekas yang lama telah tergantikan oleh
luka yang baru, di tempat yang lain yang cukup lama untuk ia sadari ketika tak
sengaja melihat darah segar yang mengucur.
Menurutnya,
ia tersakiti dan itu salah manusia itu, matanya menyalang menuntut
pertanggung-jawaban namun belum puas ia memaki dan mempersalahkan, gadis itu
menyadari bahwa ada belati tergenggam di tangan dan ujungnya menusuk tepat pada
jantung manusia itu.
"Saya telah menyakiti seseorang dan terlalu lambat untuk menyadarinya." Sesal sang gadis.
Belum
sempat mencabut belatinya, mulutnya sudah lebih dahulu mengeluarkan puluhan jarum yang siap menusuk manusia-manusia di sekitarnya. Tubuhnya mulai bersisik
dan beberapa sisik mengelupas dan bernanah.
"Saya sudah seperti monster." Ia bergidik.
Gadis
itu memang menjadi monster dengan belati di tangan dan puluhan jarum yang
keluar dari mulutnya, siap untuk melukai lebih dan lebih.
"Sebenarnya kau adalah orang yang sangat baik."
Kata
pujian yang merajam dari manusia yang tertikam belatinya membuat wujud monster
gadis itu hilang kendali. Kali ini bukan belati yang tergenggam namun sebuah sabit
dan bukan jarum yang keluar dari mulut namun semak berduri yang menjalar dan
menghempas-hempas pada orang yang berada di dekatnya.
Ia
adalah pendosa bagi sekitarnya dan kesadaran itu merajamnya. Meninggalkan luka
yang tak kalah menyakitkan. Mungkin bentuk dari kebiasaan dalam menanggung
semuanya sendiri. Namun ia selalu bertahan.. Meski merangkak dalam simbahan darah dan
luka yang kian menganga, meski bergelimang bersama manusia yang ia sakiti
sedemikian rupa.
Perlahan
dan perlahan ia mengobati luka. Membuang sabit dan menelan kembali semak
berduri yang kian menyakiti. Sebuah kain menyeka gelimangan darah, sebuah
tangan menggapai-gapai pada yang terluka. Pada yang tercinta.
Ah~ "saya mencintai manusia itu, manusia yang sekarat itu"
Tapi
apakah manusia itu masih mau meraih gapaiannya? Apa yang dipikirkan manusia
itu? Apakah manusia itu sedang ketakutan pada sosok monsternya saat ini? Tapi
manusia itu bilang bahwa dia adalah orang baik.
Orang
baik yang dengan baiknya menorehkan berbagai macam luka.
"Maafkan
saya, tolong jangan tinggalkan saya, kesendirian tidaklah menyelamatkan
saya..." tulus gadis itu bermohon tapi rupa gadis itu semakin menyeramkan
dan memuakkan. Ia
pandangi jangkauan yang tak bersambut. Sebuah tangan yang berubah menjadi merah
dengan beberapa gumpalan darah yang telah membeku. Sungguh memuakkan dan
menjijikan. Pantas saja!
Lalu
gadis itu meringkuk, meresapi setiap inci rasa sakit yang entah dari mana.
Memejamkan mata dan cairan yang berbeda dari darah yang keluar menganak sungai.
Cairan yang membuat ia semakin terlihat memuakkan.
"Kembalilah
sendiri. Nanti kau akan kembali terbiasa." Manusia itu tersenyum.
Bagaimana
mungkin sang gadis melakukan itu. Sungguhlah ia adalah seorang egois yang
maruk.
Manusia itu adalah 'pertamakalinya'.
Dengannya pertama kali kata cinta mengalun indah dari mulut berduri sang gadis.
Dengannya pertama kali ia merasa seperti manusia yang lain.
Manusia
yang sekarat itu adalah satu-satunya orang yang menggapai tangannya, membawa ia
keluar dari lobang tak berdasar. Membuat ia lebih memanusiakan diri.
Gadis
itu memang egois yang tak tahu diri. Menyakiti tapi berlagak terluka. Tapi
sungguh ada sakit pada luka yang tak terlihat itu. Ia
mencintai manusia yang sekarat itu. Ia juga ingin sekarat bersamanya kelak,
ketika tua nanti, ketika ajal datang nanti. Tapi luka akan selamanya membekas.
Bagaimana ia akan mengobati luka-luka itu? Persetan dengan lukanya tapi
bagaimana dengan luka manusia itu?
Luka
itu akan membujuk sang manusia untuk pergi. Bukan sekarang. Tapi mungkin suatu
saat nanti.
Jika
manusia itu pergi. Mungkin ia akan kembali terseret ke dalam lubang tak
berdasar. Tak akan berani lagi untuk menggapai.
Tidak
akan lagi.
Sungguh
saat itu ia akan bertahan dengan segala kesendirian karna ketika kembali
kepermukaan maka monster sepertinya akan kembali mencari korban lain untuk
dibuatnya sekarat.
Sang
gadis tak tahu sejak kapan ia mulai ketergantungan pada manusia itu.
Bolehkah ia bermimpi. Bermimpi manusia yang sekarat itu masih mau menerimanya?
Mengajarkannya tuk menjadi manusia melalui berbagai macam luka?
Lihatlah, ada seorang 'monster' yang sedang berjuang untuk kembali menjadi manusia.
ini ungkapan hati atau hanya fiksi belaka ?
ReplyDeletetpi apapun tulisannya bagus, feelnya dapat bikin hati terasa ngilu...
cos aku juga tipe penyendiri yg sedang berjuang menyapa orang orang yg ada disekelilingku.
hihihi... kok akunya jdi curhat ya.. ;)
pokoknya tulisannya keren :)
ini fiksi dari jurahan hati ihihihih
Deletekyaaaah.... terimakasih... ^^ *peluk cium*