"Selamat, karya anda yang berjudul, 'Petualangan Tak Terbatas' terpilih sebagai salah satu dari 20 karya terbaik yang kami pilih untuk dibukukan. Sebagai penghargaannya, kami sertakan E-Sertifikat."
Kira-kira
begitulah bunyi E-mail yang pernah saya terima dulu. Tentu saja saya sangat
senang dan ada kebanggaan tersendiri. Tapi kerendahan hati menohok logika. Bagaimana jika saya hanya beruntung karena saat itu hanya 20 orang yang
menyerahkan karya tulisnya, sehingga untuk memenuhi kouta, mau tidak mau karya
saya pasti dimuat juga. Seketika saya terhenyak dan menatap datar E-Sertifikat
lomba yang terpampang di laptop tercinta.
Di
awali ingatan tentang kemenangan itu, saya ikut teringat pada tulisan yang saya
kirimkan dengan pede-nya. Saat itu saya menulis tentang kisah pembolangan di kampung mama dan di rumah. Hanya segelintir kisah yang menurut saya paling
diingat. Kenangan itu akhirnya membuka kenangan lain yang selama ini hanya
tersimpan dalam lembaran diari berdebu dalam benak dan kini semua memori
itu mulai terbuka helai demi helai.
Ketika belum sekolah, kira-kira umur 3-5 tahunan. Saya
tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana dan di sana hanya memiliki
teman laki-laki. Orang yang paling akrab dengan saya saat itu adalah Eno
(anggap saja nama samaran), dia anak pemilik rumah tempat orangtua saya
mengontrak, jadi lazim saja jika kami menjadi teman. Dia merupakan sahabat
sekaligus objek bulian saya. Orangnya pasrahan dan memiliki prinsip 'PANTANG
MEMUKUL WANITA' sehingga sering terdzolimi. Pernah suatu waktu saya memukulnya
dengan kayu atau menjambak rambutnya, namun dia hanya diam tanpa membalas dan
jika saya sudah terlalu brutal, maka dia akan menangis.
Saya dan eno seumuran sehingga kami merasa sangat cocok, bahkan dibanding adik dan kakak perempuannya, saya lebih betah bermain dengan Eno (mungkin karna cuma dia yang tiap ditindas ga pernah ngelawan :v ).
Kalau mengingat masa kecil kami, saya jadi ingat, kami
pernah bersembunyi di balik mobil ayah Eno sambil nyemilin telur mentah.
Iya! Telur ayam mentah gaess! Saya tidak terlalu ingat bagaimana sensai benda
berlendir itu ketika membalur indra pengecap, hanya saja saya ingat ketika
sedang asyik melaksanakan ritual bejat itu, kami tertangkap basah dengan
keadaan mulut berlumuran lendir ambigu yang menguarkan aroma amis. Saya ingat
betapa marah dan jijiknya mama saat itu.
Saya bersyukur
hari itu kami dimarahi sehingga tidak berakhir sebagai sepasang anak pemakan
telur mentah.
Tapi
bukan duo greget nan cetar namanya jika kami berhenti di sana. Hari itu, Eno
memperlihatkan sebungkus bubuk micin kepada saya dan
berkata bahwa rasanya enak. Saya yang selain brutal dan polos ini juga dipenuhi
keingintajuan yang besar sehingga ikut mencobanya. Untung saja saat itu
bukan narkoba. Bisa-bisa kami teler berdua di
balik mobil ayahnya. Ah, benar saja rasanya tidak begitu buruk sehingga
rutinitas ini sering kami lakukan.
Kegiatan ngemil micin terus kami lakukan hingga keganjilan atas hilangnya micin di dapur dicurigai oleh orangtua kami dan lagi-lagi perbuatan nista itu
ketahuan dengan bungkus micin yang sudah ludes isinya teronggok
nista di tekape.
Selain makan- memakan,
kami juga sering bertindak seperti agen reality show yang suka ngerjain
orang-orang. Kala itu lagi zamannya softdrink dengan kemasan botol
berbentuk boneka. Usai melahap habis isinya, kami mengikat botol itu dengan
benang lalu meletakkannya di tepi jalan. Sementara ujung benangnya kami pegang
sambil bersembunyi dibalik semak-semak. Ketika ada orang yang lewat, kami tarik
talinya - bonekanya seakan bergerak sendiri - orang lewat terlihat heran - kami
pun senang bukan kepalang. Sungguh cerdik kami saat itu.
Saya dan Eno
sudah seperti amplop dan perangko, klop banget. Sering mejeng berdua di bagasi
mobil ayahnya hingga senja dan ketika mama kami menyuruh pulang, maka akan kami
jawab dengan lantang dan serempak, "Tunggu dulu ma, Eno/Ila sadang bacewek
ha" (tunggu dulu ma, Eno/Ila sedang pacaran nih). Kami nan polos dan
menggemaskan hanya mengatakan hal itu tanpa tahu maksudnya dan tanpa tahu jika
hal tersebut akan menjadi aib tersendiri bagi kami ketika dewasa nanti.
Buktinya saja,
ketika saya sudah pindah rumah (ga jauh sih), kami jarang bertemu lagi dan
ketika akhirnya bertemu, malah jadi canggung karena sama-sama sudah beranjak
dewasa. Kecanggungan itupun diperparah dengan kelaknatan mama kami yang akan
saling memanggil kami dengan 'calon minantu" (calon mantu) lalu terkekeh
geli sendiri atau mamanya akan bertanya pada saya jika bertemu, "ndak
bacewek jo Eno lai, la?" Begitupun jika Eno ketemu mama saya. Hal itu
membuat kami hingga sekarang enggan untuk saling bicara (menyapa pun hanya sekenanya).
Andai
saja saat itu saya tidak pindah rumah dan tetap menjadi tetangga Eno dan kami
tumbuh bersama, mungkin kejadian saya yang suka menganiaya si Eno
juga akan berbalik pada hingga giliran saya yang dianiaya. Karma itu ada,
gaess!! Apalagi saya yang sekarang tidak sebrutal dulu. Saya yang sekarang
adalah cewek lemah lembut, sopan santun, bersahaja dan cinta damai. Saya
bersyukur juga karna bisa lepas dari karma itu. Tapi cukup menyayangkan karna
telah kehilangan sahabat pertama semasa kecil.
Mungkin,
jika ada saat kita bertemu lagi, kita harus menghabiskan waktu untuk mengenang
kelaknatan masa kecil kita kawan. Dengan begitu kita dapat ingat kembali bahwa
ternyata kita pernah bersahabat. Padahal kita masih bertetangga yang berjarak 10 meter, nanum rasanya sudah berpisah antar pulau saking tak pernah lagi bertemu atau bertegur sapa.
Kudengar
dirimu menyukai olahraga sepak bola seperti ayahmu sehingga sering lari
pagi sendirian. Seharusnya kita masih bersahabat, kawan! Dengan begitu saya
juga akan rajin lari pagi karena tak akan lari sendirian lagi. Mungkin dengan
begitu, saya akan lebih langsing. #eh?
Comments
Post a Comment