orang yang membahas tentang Sex adalah orang mesum.
Beberapa orang hidup di
lingkungan yang berpegang teguh pada kalimat tersebut. Sex berarti mesum,
merusak moral, hal yang tidak sopan untuk dibahas dan saya hidup di
lingkungan yang seperti itu.
Dahulu, saya paling takut dan
nggak nyaman jika membahas tentang sex. Jika ada pelajaran tentang alat
reproduksi, semua orang akan terpana mendengarkannya bahkan dia yang biasanya
cuma tidur di kelas juga akan ikut mendengarkan dengan seksama dan sebelum
pelajaran dimulai, pikiran mereka pasti sudah ke hal yang mesum dan cabul, lalu yang cewek akan malu setengah mati jika guru membahas organ sex wanita,
padahal itu hal yang wajar untuk kita ketahui. Lalu, kenapa hal itu terjadi?
Karena lingkungan mengharamkan pembahasan tentang itu dan ketika di sekolah
(biasanya pas pelajaran biologi) membahasnya, maka semua rasa penasaran selama
ini seakan terjawab namun, diiringi dengan fikiran negatif tentang sex adalah
mesum.
Orang-orang telah mencampurkan
makna sex dengan sesuatu yang erotis atau bahkan pornography. Alat kelamin dengan hubungan kelamin padahal
keduanya berbeda dan kesalahpahaman itulah yang telah ditanamkan sejak kecil.
Kesalahpahaman itulah yang terus berlanjut bahkan sampai ke keperguruan tinggi.
Suatu ketika saya sedang belajar
tentang teknik penelitian sastra (kalau ga salah), dosen saya curhat tentang
pemilihan masalah dalam skripsi, kemudian beliau mencontohkan sebuah judul,
'Erotisme dalam novel xxxxx' dan langsung memasang ekspresi jijik bercampur
geli, "hiii permasalahan yang tidak penting dan menggelikan, seperti tidak
ada pembahasan yang lain saja", ucapnya. Semuanya pun tertawa, bukan
karena ucapan beliau sih tapi karena ekspresinya.
Lalu saya berpikir, apa yang
salah dari 'erotisme'? Mengapa dianggap tidak penting dan kenapa harus
berekspresi geli ketika membaca kata itu? Mungkin balik lagi pada kalimat awal.
Sex sama dengan mesum dan erotis adalah hal yang terlahir dari sex, maka erotis
sama dengan mesum. Kalau di rumuskan ke matematika mungkin jadinya, a + b = ab.
Berhubung saya jurusan
kependidikan, maka rata-rata dosen saya akan terus mengaitkan segala hal dengan
pendidikan sehingga pembahasan tentang erotisme akan dikaitkan pula dalam
pendidikan dan berhubung tidak ada sex education di kurikulum kita ataupun tidak mungkin siswa diberi contoh novel yang berisi kata-kata erotis,
makanya hal itu dianggap tidak penting, padahal setelah saya baca skripsi
tentang hal itu, tidak terdapat hal-hal mesum yang dimaksudkan, padahal hanya
membahas pemakaian kata erotis dalam novel dan hal itu wajar-wajar saja dalam
sastra soalnya erotisme yang dibahas bukan dari cerita dewasa yang digunakan
cuma buat fap2 di kamar (ya ampuuuun 'fap fap'? :v keseringan baca meme
kayaknya) tetapi dalam sebuah karya sastra.
Tapi ya sudahlah, saya tidak akan
membahas erotisme dalam sastra karena saya sendiri tidak terlalu mendalaminya.
Berdasarkan hal tersebut, tidak
ada satu pun orang di jurusan saya (lebih tepatnya di angkatan saya) yang
berani mengambil pembahas tentang sex. Hal ini membuat jiwa anti-mainstream
dalam diri saya menjerit-jerit, 'keluarkan kamiiiii keluarkan kamiiii' #halah!
Saya harus membahas sesuatu yang
berbeda, kata-kata dari dosen sastra saya juga terngiang-ngiang, beliau bilang,
"kalau mau penelitian, bahaslah sesuatu yang berbeda, jangan itu-itu
terus!".
ya ya ya saya harus berbeda dari
yang lain, saya pun kepikiran tentang YAOI (cerita tentang gay). Beberapa teman
saya yang sesama fujo juga pernah membahas perhumuan di skripsi mereka tapi
mereka jurusan sastra Jepang sih. Tapi emangnya di Jepang aja yang banyak karya
humu-humuan? Di Indonesia juga ada kelles #halah
Saya coba cari-cari tentang novel
gay dan beberapa novel sudah banyak dibahas oleh beberapa orang dari luar kota
dan tampaknya pembahasan tentang gay dalam sastra Indonesia bukan hal yang
baru, jadi saya semakin yakin. Namun, sehari sebelum mengajukan judul, saya
mengurungkan niat untuk terlihat mencolok dengan judul tersebut dan berakhir
dengan judul yang mainstream walaupun salah satunya adalah tentang novel
humu.
Saat konsultasi judul dengan
dosbing, beliau malah terfokus pada satu judul, 'gaya bahasa dalam novel Cinta
Terlarang Cinta Terindah karya L. Benako Aksara', saya diminta menjelaskan
ringkasan ceritanya, lalu terungkaplah bahwa novel itu bercerita tentang gay.
Di akhir konsul, saya diminta mencari teori tentang sexsualitas dalam sastra
dari segi psikologi sastra. OH EM JIH!!!!!!
Saya nggak tahu apakah harus
senang atau takut. Ini otomatis bakal ganti judul ke judul yang awal-awal saya
pikirkan, tentang *close up ke bibir* S E X!
tapi nggak apalah ya, kan dosbing yang nyuruh xixixixiixixi
tapi nggak apalah ya, kan dosbing yang nyuruh xixixixiixixi
Singkat cerita, akhirnya saya
mengambil judul, penyimpangan seksual dalam novel tersebut namun dilihat dari
segi psikologi sastra #hasik awal baca judul itu, dosbing kedua saya sempat
terbelalak namun diam aja sih, yang artinya setuju-setuju aja gituh.
Ketika seminar proposal, saya
jadi objek paling diincar saat itu. Pesertanya juga fokus bertanya dan
mendengar pembahasan tentang proposal saya, padahal hari itu nggak cuma
saya yang seminar, ada empat orang lagi, tapi malah fokusnya ke saya. Bikin
keringat dingin broh, mengingatnya kayak sekarang aja bikin perut saya mules.
Saya sih bisa menjawab dan
menjelaskan dengan lumayan lancar ketika peserta bertanya, tapi ketika dosen
yang mulai mengajukan pertanyaan, perut saya makin mules dan yang paling lucu,
dosen yang seharusnya membahas proposal yang lain malah membahas proposal saya.
Habis sudah!
Ada satu dosen wanita yang
bertanya, "bagaimana perasaan anda ketika membahas tentang penyimpangan
seksual, apa reaksi keluarga atau rekan anda ketika ada yang bertanya tentang
judul skripsi anda yang notabene-nya termasuk tabu untuk diperbincangkan?"
*irama ala inpotaimen*
ENG ING EEEENG.... tuh kan, bahas
tentang sex itu tabu! Ga boleh dibahas, privasi ngetz, bukan untuk dibahas di
depan umum. Padahal saya nggak bahas tentang hubungan seksual di mana cowok
'ena ena' sama cowok lain, tapi membahas kejiwaan di tokoh dalam karya sastra.
Weleh weleh....
Lalu di penghujung seminar, ada
lagi dosen laki-laki (yang lagi-lagi bukan pembahas proposal saya) yang
bertanya dengan wajah serius + meremehkan(?).
"Apa tujuan anda mengambil
pembahasan ini?"
Saya udah banjir keringat tuh,
tenaga untuk ngomong udah terkuras habis tapi masih juga di tanya. Udah saya
jelaskan tapi dosennya nggak paham juga. Trus terjadilah sesi tanya jawab yang
panjang.
Saya masih ingat satu olokkan
yang dilancarkan dosen tersebut kepada saya saat membahas manfaat penelitian
saya, kalau nggak salah sih gini, "mungkin setelah ini anda akan menjadi sexsolog
(orang yang ahli dibidang sex), iya kan?! Soalnya pembahasannya tentang sex
", kemudian di-iyakan oleh peserta yang lain dan mereka tertawa.
Saat itu rasanya saya pengen
bilang, "KOK SEXSOLOG SIH PAK? KENAPA NGGAK PSIKOLOG AJA? LEBIH MASUK AKAL
SOALNYA, KAN INI BAHAS DARI SEGI KEJIWAAN DAN TINGKAH LAKU BUKAN DARI ALAT
KELAMINNYA. LAGIAN APA YANG MAU DITELITI DARI ALAT KELAMINNYA? KAN UDAH JELAS
INI NOVEL BAHAS TENTANG GAY, JADI ALAT KELAMINNYA YA TITIT SAMA TITIT. UDAH! #PLAK
saat itu saya emosi karena malu
dan diremehkan tapi saya tahan aja terus. Sampai seorang dosen muda (dosen
baru) ikut nimbrung, dan bilang gini, "di lingkungan anda ada yang
homo?"
"Tidak pak, tapi kalau di
medsos, saya tahu beberapa orang yang homo."
"Sebaiknya anda cari seorang
homo lalu melakukan wawancara agar penelitiannya lebih falid."
"Tapi... saya nggak bahas
tentang orang homo pak, lebih ke tokoh sastra." Dalam hati sih bilang
gini, 'dan tokoh sastranya ga bisa diwawancara pak #cry'
Hal tersebut juga dibenarkan oleh
dosen yang lain dan terjadilah sesi curhat kilas balik tentang salah satu
mahasiswa yang melakukan penelitian sampai-sampai dia harus menyamar dan
berteman dengan para homo. Akhirnya saya cuma mendengarkan dengan tangan udah
mendingin kayak es saking groginya.
Karena pembicaraan udah
kemana-mana kayak ngombrol di warung kopi, akhirnya dosbing kedua saya (dosbing
1 nggak datang) menyudahi semuanya dengan menjelaskan bahwa penelitian
saya hanya terfokus pada satu novel dan bukan ke lingkungan nyata. Semuanya pun
di sudahi namun dosen laki-laki yang mengolok saya sebelumnya bertanya lagi,
"tapi anda tidak menyimpang, kan?!"
THAT'S!
hal yang mungkin dari awal ingin beliau katakan sebenarnya, mentang-mentang membahas tentang penyimpangan seksual, bukan berarti saya adalah pelaku penyimpangan seksual dan mentang-mentang ada kata 'seksual' bukan berarti saya ini bakal jadi sexsolog. Menurut saya, pemikiran tersebut terlalu sempit.
hal yang mungkin dari awal ingin beliau katakan sebenarnya, mentang-mentang membahas tentang penyimpangan seksual, bukan berarti saya adalah pelaku penyimpangan seksual dan mentang-mentang ada kata 'seksual' bukan berarti saya ini bakal jadi sexsolog. Menurut saya, pemikiran tersebut terlalu sempit.
Btw saya ini normal plis. Masih
demen kok sama laki, saya nggak pernah terangsang liat cewek berbodi seksi kok.
Tapi sudahlah, kesalahpahaman itu
percuma dijelaskan. Hayati lelah menjelaskan terus-menerus.
Btw balik lagi ke curhatan saya
pas seminar. Pertanyaan terakhir itu menjadi akhir seminar saya dan tentu saja
dapat dilanjutkan ke penelitian selanjutnya. Alhamdulillah deh. Tapi seriously,
kejadian pas seminar itu nggak bisa saya lupakan sampai sekarang.
Kenapa hal itu terjadi? Padahal
pembahasan tentang penyimpangan seksual dalam novel sudah banyak dilakukan, dan juga di jurusan saya dapat memilih tiga tipe penelitian, pendidikan,
bahasa, atau sastra. Jadi, rasanya nggak aneh jika saya membahas sastra seperti
itu.
Seperti yang saya bahas di awal
tulisan ini, saya hidup di lingkungan yang mengharamkam 'sex' dan sejenisnya
untuk dibicarakan secara umum. Nggak aneh juga sih kalau sex education nggak
pernah ada, padahal dari banyak sumber yang saya baca, sex education itu
penting. Lagipula nggak bakal bahas hal-hal porno dan belajar kata-kata
kotor, tapi yah mau bagaimana lagi, katanya sih 'tabu' untuk diperbincangkan.
Inti dari curhatan ini?
Entahlah, mungkin...
1. sebaiknya kita berhenti untuk berpikiran negatif dan porno, biar tiap denger kata 'sex' otaknya nggak langsung ke hal yang ena ena aja. Pfffft
2. Kalau mau skripsian dan membahas hal yang 'tabu', maka harus siap mental dan buktikan kalau apa yang kamu bahas, nggak seremeh yang orang pikirkan.
3. Olokkan yang saya terima saat seminar telah menjadi motivasi bagi saya untuk benar-benar memahami penelitian yang saya lakukan sehingga saya dapat menjelaskan dengan baik dan memperlihatkan betapa seriusnya saya dengan pembahasan yang saya ambil. Bukan sekedar pengen bahas hal mesum apalagi mesum-mesuman yang menyimpang. Semua tekad itu berakhir dengan lancar saat saya sidang skripsi. Udah paham bahan sih, jadi mau ditanya apa aja saya bisa jawab dengan pasti. Insya Allah.
4. Ketika seseorang suka cerita homo, bukan berarti dia juga homo. Mungkin sama kayak ketika kita suka film trhiller psikopat, bukan berarti sebenarnya kita juga psikopat. #apadeh
Comments
Post a Comment