Dia terduduk
dengan helaan yang teramat, 'Tiada aku dapat bersaing dengannya'.
Saya tak
dapat menahan tawa ketika ia mengatakan hal itu. Sungguh! Bahkan pengemispun
menertawakan dirinya yang merendah tanpa imbalan nyata, meminta-minta sesuatu
yang tak tersentuh, menyiakan air mata untuk hal yang tak pasti ia dapat. Untuk
hal yang tak memuaskan asa setiap yang melihat.
Rautnya
lelah, tatapannya sendu, 'saya bahkan tak sanggup membalikkan tatapannya agar
kembali menghangat.' Cicitan kelelahan itu menjadi penjelas segalanya. Tiada
kata yang dapat menjelaskan kelelahan itu dengan pasti, bahkan dirinya sendiri
hampir mati mati rasa akan segala asa.
Orang
di sekitarnya selalu bersaksi pada ketidakpekaannya namun mengapa dia begitu
perasa? Bahkan dia begitu sensitif pada perubahan. Ataukah ketidakpekaan itu
tak berlaku pada sosok kesayangannya? Dia pun tak mengerti.
Dia tak pernah
bisa mengontrol dirinya sendiri untuk tak berbuat salah walau kesalahan kecil
menurutnya. Namun balasan yang ia terima sama halnya dengan hukuman pada
kesalahan yang begitu fatal. Sakit ketika dia menyalahkan dirinya sendiri dan
itu tidaklah cukup untuk seseorang memaafkannya.
Pikiran buruk
bersarang nyaman dalam benaknya, benih-benih kecemburuan yang tak menentu
wujudnya; beranak-pinak dalam sarang itu.
"Patah
hatimu adalah kecemburuan seumur hidupku." Ucapnya.
Pikiran
buruk itu menghantuinya, seperti dikutuk untuk tak dapat menempati hati
kecintaannya. Jika memang kepekaan kecintaan itu melebihi kepekaannya maka
pekalah dan bantu ia menghancurkan sarang keburukan hati yang terus mencekik
seluruh syarafnya.
"Merendah
adalah bukti kekalahan pada kecemburuanku."
Iri
adalah dasar segalanya dan ia tahu itu. Tapi enggan rasa itu tersingkir, bahkan
semakin mengakar kuat setiap kali kecintaannya murka dan enggan menyapa.
Jika kecintaan
itu peka, tolong lihat dan rasakanlah kelelahannya.
Comments
Post a Comment